Thursday, October 4, 2012

Its a Blessed, Its a Job. Its a Blessed Job

Dari dulu, saya pemikir! Ketika melakukan sesuatu hal entah darimana datangnya ada suara yang merasuki hati dan pikiran. Mereka datang dengan banyak pertanyaan "Mengapa kamu melakukan ini?" "Apa manfaatnya?" "Apakah sudah benar yang kamu lakukan?" "Apakah sudah cukup baik?" dst.

Suatu kali saya bekerja di restaurant cepat saji, menghadapi mesin kasir saya melihat banyak sekali orang Indonesia yang merasa "puas" membelanjakan uangnya disana. Seperti ini makanan mahal, mewah, dan eksklusif. Padahal, ini hanya ayam, ini hanya roti isi daging yang harganya berkali lipat dari bahan mentahnya, yang kandungan gizinya dipertanyakan, yang rasanya sebenarnya tidak jauh lebih lezat dari masakan ibu sendiri.

Tapi saya tahu perasaaan mereka, saya dulu juga begitu, ibu saya mungkin juga begitu. Membelanjakan uangnya sebulan sekali setelah gajian untuk membeli makanan cepat saji yang itu. Rasa makanan itu menjadi lezat bukan karena memang rasanya tapi karena nilai dari perjuangan mendapatkannya. Itulah yang membuatnya menjadi beda.

Namun akhirnya saya memutuskan keluar dari restoran cepat saji itu. Kenapa? Satu saya sadar bahwa produk yang saya tawarkan bukan produk yang sehat, dua karena itu saya tahu bahwa nilai "pencapaian" mereka tidak seharusnya dibayarkan untuk itu. Idealisme saya terusik, saya tidak ingin menyaksikan orang-orang yang bekerja susah payah hanya untuk membeli 'kemewahan' itu.

Kemudian suatu waktu saya bekerja menjadi reporter di media lokal yang membidik masyarakat sosial menengah ke bawah. Awalnya semua tampak baik-baik saja, yah saya toh memang sudah jadi reporter pada tahun belakangan. Tugasnya sudah hafal narasumber juga sudah bisa ditekuni.

Sampai tiba satu titik, ketika saya disodorkan tema yang harus saya tulis. Saya tercengang pada hasil diskusi dengan salah seorang editor disana. Saya menemukan kenyataan yang berbeda dari kerangka pengetahuan saya mengenai bagaimana seharusnya media itu bergerak. Media adalah sarana penting yang seharusnya turut membangun informasi yang bisa memberikan tambahan wawasan, wacana, atau pengetahuan yang tepat bagi pembacanya. Bukan menenggelamkan atau dengan sengaja meracuni pembaca dengan tulisan yang mengedepankan sensasional.

Meski sempat membuat beberapa tulisan yang disodorkan oleh si editor, saya pun akhirnya memutuskan keluar. Idealisme saya dengan media yang menaungi saya menjadi pemicunya, kami jelas berdiri berlawanan arah. Lagi-lagi, saya memutuskan untuk tidak lagi terlibat di dalam penyebaran informasi yang menyalahi hati nurani saya.

Intinya, bagi saya bekerja bukan sekedar mencari pendapatan. Ada faktor lain dan itu adalah kenyamanan bekerja. Bagi saya kenyamanan bekerja, kebebasan berpikir, berkreasi, dan bertumbuh menjadi faktor penting yang membuat saya memutuskan bertahan di satu tempat. Bekerja bukan sekedar menghasilkan pendapatan secara materi namun juga sebuah kepuasan. Kepuasan dalam bekerja, berkarya, dan InsyaAllah menghasilkan manfaat bagi orang lain itulah yang kemudian menjadi sebuah pekerjaan menjadi nikmat, deadline menjadi sedap, dan hidup tak lagi hanya putih abu-abu. It's a blessed, it's a job, It's a blessed job :)

 

No comments: